why am I doing here?
Belakangan saya banyak membaca buku dan artikel di internet yang mengerucut pada apa yang saya sedang lakukan sekarang. Belajar dan melakukan penelitian adalah “pekerjaan” pokok saya sebagai mahasiswa PhD di Perancis. Belakangan ini juga saya kembali melihat motivasi yang saya punya dan berefleksi tentang pilihan hidup yang sedang saya jalani. Kasarnya, saya sebenarnya sedang bertanya pada diri sendiri
gw ngapain sih di sini? ngapain juga harus jauh-jauh sekolah? kenapa setelah selesai S1 tidak langsung bekerja saja? Kenapa juga mau-mau nya ditawari sekolah ke luar negeri?
Rasanya pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, sedikit banyak menjadi pemikiran mereka yang bersekolah jauh ke negeri orang. Semula datang ke luar negeri dengan semangat tinggi namun ditengah kuliah dan pekerjaan meneliti, pertanyaan di atas akan ada dalam pikiran mereka.
Well, saya sudah mengalami hal ini dua kali. Ketika studi master (S2) di Jepang dulu, saya bahkan sudah mengalami kegalauan ini di hari pertama saya tiba di Jepang. Tapi toh karena kerja keras dan perkenanan-Nya saya bisa selesai.
Tapi, kali ini rasanya berbeda. Pertanyaan-pertanyaan itu tampaknya bertanya dengan lebih mendalam.
Jujur, menjawab pertanyaan diri sendiri itu sangat menakutkan. Saya sangat takut dengan jawaban yang saya berikan pada diri sendiri. Dalam hal ini, saya takut bahwa saya melanjutkan studi S3 dengan alasan yang salah.
Seperti yang saya ceritakan sebelumnya bahwa beberapa hari ini saya melakukan studi kecil-kecilan tentang hal ini. Saya membaca beberapa buku dan artikel internet mengenai pertanyaan-pertanyaan ini. Well, Puji Tuhan, kesimpulan dari studi itu ternyata mendukung pada kondisi saya sekarang.
Studi itu masih belum berakhir dan rasanya pengalaman dapat saya bagikan kepada mereka yang membutuhkannya, terutama yang masih bingung memutuskan apakah akan lanjut kuliah ke jenjang yang lebih tinggi atau tidak. Berikut adalah beberapa alasannya:
Saya tidak suka kerja kantoran
Ketika memutuskan untuk lanjut S2 dulu, hal inilah yang menjadi alasan utama saya. Alasan itu menjadi sangat kuat ketika saya makin “takut” melihat mereka yang se-usia saya memakai kemeja, dasi, sepatu yang kalau berjalan mengeluarkan bunyi dan bekerja dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore. Satu kesempatan saya diajak makan siang di sebuah perkantoran di Jakarta oleh seorang teman. Kami makan siang di sebuah food court yang menjadi langganan makanan karyawan setempat. Saya lalu melihat sekeliling, saya tidak bisa membayangkan diri saya berada dalam keadaan seperti mereka, berdasi, kemeja rapih, memakai name tag dsb. Sungguh berbeda dengan “kostum” saya ketika itu, celana jeans dan kaos kemeja.
Waktu yang lain ketika saya memikirkan hal ini adalah ketika berlibur di Singapura. Di Singapura, saya harus menggunakan kereta MRT (Mass Rapid Transport), saya pergi ke pusat kota sejak pagi hari dan pulang ke hotel pada sore hari. Di dua waktu tersebut saya berada di dalam MRT, di tengah-tengah para pekerja yang pergi dan pulang bekerja. Mereka begitu tampak kelelahan, jarang ada yang berbicara satu sama lain dan memakai headset untuk mengusir kebosanan di dalam MRT. Saya lalu membayangkan diri saya seperti itu, seandainya saya harus pergi pagi-pagi dan pulang dari tempat kerja dengan lelah secara fisik dan mental. Membayangkannya saja saya sudah takut.
Jadi, itulah alasan pertama mengapa saya terus melanjutkan kuliah tanpa pernah mendapat pengalaman di dunia kerja. Sebagai mahasiswa ketika S2 dulu dan S3 sekarang, saya tidak memiliki “jam kantor”, saya bebas kapan pun saya hendak bekerja di lab. Saya juga bisa bekerja di rumah (dengan seijin supervisor tentunya) dan saya bisa datang (dengan sukarela) di hari Sabtu/Minggu atau hari libur.
Tidak mau terjebak melakukan hal yang rutin
Ini adalah alasan yang pertama kali masuk ke kepala saya karena perkataan Dosen pembimbing saya. Rasanya ketika itu, beliau hendak lebih meyakinkan saya untuk terus melanjutkan kuliah dengan menakut-nakuti saya akan hal ini. Dan ternyata memang berhasil. Saya tidak mau terjebak melakukan hal yang sama terus menerus di dunia kerja.
Bagi saya, dunia kerja identik dengan melakukan hal yang rutin. Masuk dan pulang kerja di saat yang sama (terkadang lembur), mengerjakan laporan dengan subjek yang sama, berurusan dengan orang-orang yang sama, memperoleh gaji di waktu yang sama dan (terkadang) menghabiskannya di waktu dan tempat yang sama.
Hal-hal rutin di atas terkadang membuat banyak orang menjadi tidak berkembang. Hampir tidak ada waktu untuk mempelajari sebuah skill yang baru. Sangat memungkinkan untuk berkuliah sambil bekerja, tapi saya rasanya tidak sanggup. Saya membayangkan fokus saya akan terbagi dan saya akan sangat kelelahan baik secara fisik dan mental.
Kesempatan belajar inilah yang bisa saya dapatkan di lingkungan akademik dengan belajar dan melakukan penelitian. Setiap hari rasanya selalu ada yang bisa saya pelajari dan bisa saya coba lakukan dalam sebuah eksperimen. Bagi saya, hal ini sangat penting dimana saya bisa mengembangkan diri sendiri dengan lingkungan yang sangat mendukung.
Ingin keluar negeri
Mendengar Jepang ketika lulus S1 dulu membuat saya tidak pikir panjang untuk melanjutkan kuliah S2 dan mendengar Perancis juga tidak membuat saya berpikir lama-lama untuk mengambil gelar S3.
Saya ingin memiliki pengalaman baru hidup di negeri orang. Rasanya itu menjadi kebanggan tersendiri dimana saya bisa mengalami banyak hal yang sebelumnya hanya bisa saya lihat di televisi.
Alasan ini membuat saya menjadi banyak belajar tentang kehidupan, tentang budaya, tentang nilai-nilai yang tidak bisa saya pelajari secara langsung di Indonesia. Budaya kerja keras orang Jepang sudah saya alami dan budaya penelitian di Eropa sedang saya pelajari. Rasanya pengalaman ini menjadi sebuah cerita yang menarik dan inspiratif yang bisa saya ceritakan kepada adik-adik kelas, kepada keluarga dan kepada anak cucu saya.
Kebiasaan menggali pengetahuan yang menjadi kini menjadi kebiasaan yang adiktif
Ini adalah alasan terakhir yang saya simpulkan belakangan ini. Mendapat sebuah pengetahuan baru dan memberi makan rasa penasaran rasanya sudah menjadi sebuah “candu”. Dan menjadi hal yang sangat menyenangkan ketika memperoleh momen “AHA” atau momen “lampu menyala” di kepala.
Hal yang mendasari ini adalah belakangan ini saya menikmati dua hal dari aktivitas saya: yang pertama adalah melakukan studi literatur untuk topik penelitian dan yang kedua adalah kebiasaan membaca buku populer (non fiksi) untuk mengisi waktu luang.
Melakukan studi literatur telah “memaksa” saya untuk membaca banyak jurnal penelitian yang sudah dilakukan. Dan ketika memaknai kegiatan ini rasanya saya sedang berada di “tepian” pengetahuan manusia dimana sebuah penelitian yang akan saya lakukan akan membuat “tepian” ini bergerak maju. Dan perasaan ini menjadi sebuah perasaan yang “adiktif”.
Membaca buku non-fiksi juga menjadi hal yang mengasikan. Selain sebagai “refreshing” dari kegiatan riset, hal ini juga membuat pemikiran saya berkembang. Membaca memang membuat pemikiran kita menjadi berkembang dan memberi motivasi untuk melakukan segala sesuatu dengan lebih baik lagi.
Tidak ada penyesalan
Pada akhirnya, perenungan belakangan ini membuat saya nyaman berada di keadaan saya sekarang ini. Mengambil kuliah S3 tidaklah menjadi keputusan yang salah dalam hidup saya. Saya tidak menyesal mengambil keputusan ini.
Tulisan ini adalah sebuah pendapat pribadi tentang pengalaman hidup saya. Ada yang setuju mungkin juga tidak. Toh, ini adalah sebuah penilaian yang subjektif.
Saya hanya sangat berharap ada diantara Anda yang membaca tulisan ini yang sedang bergumul/bingung dalam mengambil keputusan untuk bekerja/lanjut kuliah. Well, Anda sudah membaca pengalaman saya di sini, memang tidak adil jika tidak dibandingkan dengan pengalaman mereka yang bekerja, anyway it is you who should decide it.
– be blessed