harapan – kenyataan = kecewa (and how to overcome it)

manage our expectation so we won’t be dissapointed

Satu jam menjelang berakhirnya nge-lab hari ini, saya teringat ketika pertama kali datang ke Perancis (sekitar 9 bulan yang lalu). Ketika itu saya mendarat di bandara Charles de Gaulle, dijemput oleh seorang teman lalu naek kereta menuju Gare du Nord.

Sepanjang perjalanan saya sedikit kecewa dengan keadaan kereta di Perancis ini, yang tidak sebersih di Jepang selain itu ada banyak penumpang yang cukup annoying seperti ngobrol dengan suara keras dan menggangu penumpang lainnya. Kekecewaan saya bertambah ketika sampai di Gare du Nord lalu melihat begitu banyaknya homeless serta sampah yang berserakan di mana-mana.

Di Jepang, apalagi di Kanazawa sarana angkutan umum begitu bersih dan tertib. Penumpang tahu menghormati satu sama lain dan tidak membuang sampah di angkutan umum. 

Saya kecewa karena saya secara tidak sadar menaruh harapan/ekspektasi bahwa keadaan di Perancis sama seperti di Jepang.

Beberapa bulan yang lalu saya mendengar kutipan yang sama dengan judul post ini:

harapan minus kenyataan sama dengan kecewa

So, kita kecewa karena harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Bukan berarti kita tidak boleh berharap, tapi kalau harapannya terlalu tinggi dan kenyataan berkata lain ya akhirnya menjadi kecewa.

Misalnya dalam akademik. Kita tentu boleh berharap nilai ujian kita mendapat skor yang tinggi apalagi sudah belajar mati-mati an, tapi kalau kenyataan berkata lain, ya ujung-ujung nya kita akan jadi kecewa.

Mendengar kutipan tersebut disertai berkaca pada pengalaman, saya mulai mencoba menjalani dua prinsip berikut:

Lakukan yang terbaik dan Jangan Terlalu Hiraukan Hasilnya

results maybe disappointed… but if we did the process well enough, we have learn a lot for the next shot.

Saya mulai belajar untuk lebih berfokus pada proses yang saya jalani dan menomorduakan hasil. Hasil mungkin mengecewakan, tapi saya bisa belajar banyak dari prosesnya.

Saya teringat ketika S2 di Jepang, waktu riset saya habis untuk mengerjakan sesuatu yang pada akhirnya tidak saya masukan ke laporan thesis. Saya terpaksa melakukan hal itu karena tidak sesuai dengan gambaran besar thesis. So, I took the positive that I learnt a lot from the process. Saya bersyukur bisa belajar banyak dari proses riset tersebut.

Jaga Ekspektasi terhadap Orang Lain

Poin pertama berhubungan dengan apa yang kita kerjakan, sementara poin yang kedua ini berkaitan dengan orang lain. Yang kita kerjakan sifatnya pasif namun manusia adalah sesuatu yang aktif, yang punya emosi, punya keinginan, punya keegoisan dsb.

Mungkin kita pernah dikecewakan oleh orang lain dan saya rasa itu terjadi karena harapan ktia terhadap orang lain terlalu besar dibandingkan tindakan yang dilakukan orang tersebut. Am I right ?

Contoh di kehidupan akademik misalnya adalah ketika kerja kelompok. Kita mengeluh dan kecewa dengan teman sekelompok yang tidak bekerja dengan seharusnya. Saya cukup sering mengalami hal ini, oleh karena itu saya belajar untuk tidak terlalu berharap dan bijak dalam memberi kepercayaan. Berilah kepercayaan yang sesuai dengan kemampuan teman sekelompok sehingga ia mampu mengerjakannya. Hal ini mencegah kita menjadi kecewa karena dengan hal demikian kita mengatur ekspektasi.

Contoh lainnya mungkin kita mendapat dosen pembimbing yang kurang care, terlalu sibuk, tidak kompeten dengan topik skripsi/thesis/disertasi kita. Kita menjadi kecewa karena kita tidak mendapatkan bimbingan yang baik. Well, just be proactive and initiative. Kita harus proaktif dengan pekerjaan kita dan meningkatkan inisiatif. Saya rasa pembimbing akan menaruh respek yang lebih tinggi dan tentunya kita tidak tenggelam dalam kekecewaan.

In the end it is about doing more and expect less.

– be blessed

4 alasan mengapa saya tidak bekerja (dan malah kuliah terus)

why am I doing here? 

Belakangan saya banyak membaca buku dan artikel di internet yang mengerucut pada apa yang saya sedang lakukan sekarang. Belajar dan melakukan penelitian adalah “pekerjaan” pokok saya sebagai mahasiswa PhD di Perancis. Belakangan ini juga saya kembali melihat motivasi yang saya punya dan berefleksi tentang pilihan hidup yang sedang saya jalani. Kasarnya, saya sebenarnya sedang bertanya pada diri sendiri

gw ngapain sih di sini? ngapain juga harus jauh-jauh sekolah? kenapa setelah selesai S1 tidak langsung bekerja saja? Kenapa juga mau-mau nya ditawari sekolah ke luar negeri?

Rasanya pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, sedikit banyak menjadi pemikiran mereka yang bersekolah jauh ke negeri orang. Semula datang ke luar negeri dengan semangat tinggi namun ditengah kuliah dan pekerjaan meneliti, pertanyaan di atas akan ada dalam pikiran mereka.

Well, saya sudah mengalami hal ini dua kali. Ketika studi master (S2) di Jepang dulu, saya bahkan sudah mengalami kegalauan ini di hari pertama saya tiba di Jepang. Tapi toh karena kerja keras dan perkenanan-Nya saya bisa selesai.

Tapi, kali ini rasanya berbeda. Pertanyaan-pertanyaan itu tampaknya bertanya dengan lebih mendalam.

Jujur, menjawab pertanyaan diri sendiri itu sangat menakutkan. Saya sangat takut dengan jawaban yang saya berikan pada diri sendiri. Dalam hal ini, saya takut bahwa saya melanjutkan studi S3 dengan alasan yang salah.

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya bahwa beberapa hari ini saya melakukan studi kecil-kecilan tentang hal ini. Saya membaca beberapa buku dan artikel internet mengenai pertanyaan-pertanyaan ini. Well, Puji Tuhan, kesimpulan dari studi itu ternyata mendukung pada kondisi saya sekarang.

Studi itu masih belum berakhir dan rasanya pengalaman dapat saya bagikan kepada mereka yang membutuhkannya, terutama yang masih bingung memutuskan apakah akan lanjut kuliah ke jenjang yang lebih tinggi atau tidak. Berikut adalah beberapa alasannya:

Saya tidak suka kerja kantoran

Ketika memutuskan untuk lanjut S2 dulu, hal inilah yang menjadi alasan utama saya. Alasan itu menjadi sangat kuat ketika saya makin “takut” melihat mereka yang se-usia saya memakai kemeja, dasi, sepatu yang kalau berjalan mengeluarkan bunyi dan bekerja dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore. Satu kesempatan saya diajak makan siang di sebuah perkantoran di Jakarta oleh seorang teman. Kami makan siang di sebuah food court yang menjadi langganan makanan karyawan setempat. Saya lalu melihat sekeliling, saya tidak bisa membayangkan diri saya berada dalam keadaan seperti mereka, berdasi, kemeja rapih, memakai name tag dsb. Sungguh berbeda dengan “kostum” saya ketika itu, celana jeans dan kaos kemeja.

Waktu yang lain ketika saya memikirkan hal ini adalah ketika berlibur di Singapura. Di Singapura, saya harus menggunakan kereta MRT (Mass Rapid Transport), saya pergi ke pusat kota sejak pagi hari dan pulang ke hotel pada sore hari. Di dua waktu tersebut saya berada di dalam MRT, di tengah-tengah para pekerja yang pergi dan pulang bekerja. Mereka begitu tampak kelelahan, jarang ada yang berbicara satu sama lain dan memakai headset untuk mengusir kebosanan di dalam MRT. Saya lalu membayangkan diri saya seperti itu, seandainya saya harus pergi pagi-pagi dan pulang dari tempat kerja dengan lelah secara fisik dan mental. Membayangkannya saja saya sudah takut.

Jadi, itulah alasan pertama mengapa saya terus melanjutkan kuliah tanpa pernah mendapat pengalaman di dunia kerja. Sebagai mahasiswa ketika S2 dulu dan S3 sekarang, saya tidak memiliki “jam kantor”, saya bebas kapan pun saya hendak bekerja di lab. Saya juga bisa bekerja di rumah (dengan seijin supervisor tentunya) dan saya bisa datang (dengan sukarela) di hari Sabtu/Minggu atau hari libur.

Tidak mau terjebak melakukan hal yang rutin

Ini adalah alasan yang pertama kali masuk ke kepala saya karena perkataan Dosen pembimbing saya. Rasanya ketika itu, beliau hendak lebih meyakinkan saya untuk terus melanjutkan kuliah dengan menakut-nakuti saya akan hal ini. Dan ternyata memang berhasil. Saya tidak mau terjebak melakukan hal yang sama terus menerus di dunia kerja.

Bagi saya, dunia kerja identik dengan melakukan hal yang rutin. Masuk dan pulang kerja di saat yang sama (terkadang lembur), mengerjakan laporan dengan subjek yang sama, berurusan dengan orang-orang yang sama, memperoleh gaji di waktu yang sama dan (terkadang) menghabiskannya di waktu dan tempat yang sama.

Hal-hal rutin di atas terkadang membuat banyak orang menjadi tidak berkembang. Hampir tidak ada waktu untuk mempelajari sebuah skill yang baru. Sangat memungkinkan untuk berkuliah sambil bekerja, tapi saya rasanya tidak sanggup. Saya membayangkan fokus saya akan terbagi dan saya akan sangat kelelahan baik secara fisik dan mental.

Kesempatan belajar inilah yang bisa saya dapatkan di lingkungan akademik dengan belajar dan melakukan penelitian. Setiap hari rasanya selalu ada yang bisa saya pelajari dan bisa saya coba lakukan dalam sebuah eksperimen. Bagi saya, hal ini sangat penting dimana saya bisa mengembangkan diri sendiri dengan lingkungan yang sangat mendukung.

Ingin keluar negeri

Mendengar Jepang ketika lulus S1 dulu membuat saya tidak pikir panjang untuk melanjutkan kuliah S2 dan mendengar Perancis juga tidak membuat saya berpikir lama-lama untuk mengambil gelar S3.

Saya ingin memiliki pengalaman baru hidup di negeri orang. Rasanya itu menjadi kebanggan tersendiri dimana saya bisa mengalami banyak hal yang sebelumnya hanya bisa saya lihat di televisi.

Alasan ini membuat saya menjadi banyak belajar tentang kehidupan, tentang budaya, tentang nilai-nilai yang tidak bisa saya pelajari secara langsung di Indonesia. Budaya kerja keras orang Jepang sudah saya alami dan budaya penelitian di Eropa sedang saya pelajari. Rasanya pengalaman ini menjadi sebuah cerita yang menarik dan inspiratif yang bisa saya ceritakan kepada adik-adik kelas, kepada keluarga dan kepada anak cucu saya. 

Kebiasaan menggali pengetahuan yang menjadi kini menjadi kebiasaan yang adiktif 

Ini adalah alasan terakhir yang saya simpulkan belakangan ini. Mendapat sebuah pengetahuan baru dan memberi makan rasa penasaran rasanya sudah menjadi sebuah “candu”. Dan menjadi hal yang sangat menyenangkan ketika memperoleh momen “AHA” atau momen “lampu menyala” di kepala.

Hal yang mendasari ini adalah belakangan ini saya menikmati dua hal dari aktivitas saya: yang pertama adalah melakukan studi literatur untuk topik penelitian dan yang kedua adalah kebiasaan membaca buku populer (non fiksi) untuk mengisi waktu luang.

Melakukan studi literatur telah “memaksa” saya untuk membaca banyak jurnal penelitian yang sudah dilakukan. Dan ketika memaknai kegiatan ini rasanya saya sedang berada di “tepian” pengetahuan manusia dimana sebuah penelitian yang akan saya lakukan akan membuat “tepian” ini bergerak maju. Dan perasaan ini menjadi sebuah perasaan yang “adiktif”.

Membaca buku non-fiksi juga menjadi hal yang mengasikan. Selain sebagai “refreshing” dari kegiatan riset, hal ini juga membuat pemikiran saya berkembang. Membaca memang membuat pemikiran kita menjadi berkembang dan memberi motivasi untuk melakukan segala sesuatu dengan lebih baik lagi.

Tidak ada penyesalan

Pada akhirnya, perenungan belakangan ini membuat saya nyaman berada di keadaan saya sekarang ini. Mengambil kuliah S3 tidaklah menjadi keputusan yang salah dalam hidup saya. Saya tidak menyesal mengambil keputusan ini.

Tulisan ini adalah sebuah pendapat pribadi tentang pengalaman hidup saya. Ada yang setuju mungkin juga tidak. Toh, ini adalah sebuah penilaian yang subjektif.

Saya hanya sangat berharap ada diantara Anda yang membaca tulisan ini yang sedang bergumul/bingung dalam mengambil keputusan untuk bekerja/lanjut kuliah. Well, Anda sudah membaca pengalaman saya di sini, memang tidak adil jika tidak dibandingkan dengan pengalaman mereka yang bekerja, anyway it is you who should decide it.  

– be blessed

a lady bar named Yui

if you want to see a society that honor “work hard”, you better go to Japan. You won’t forget how the Japanese work very extremely hard.

Untuk hidup dengan layak, seseorang harus bekerja dengan keras. Untuk hidup lebih dari sekedar layak seseorang harus bekerja dengan ekstra keras. Kadang kenyataan itu sulit untuk kita terima, bahkan untuk saya pribadi sekarang. Belajar di luar negeri memerlukan kerja keras bukan hanya karunia kecerdasan yang Tuhan berikan secara gratis.

Akhir-akhir ini saya berpikir tentang banyaknya kerja keras yang harus saya lakukan, sesaat itu juga banyak keluhan muncul. Padahal saya sadar bahwa saya ada di tempat yang menyediakan banyak hal, asal saya bersedia bekerja keras. Pada saat saya berpikir demikian, muncul banyak keluhan dari dalam diri. Negara ini terlalu dingin lah, kurang matahari lah, kendala bahasa lah dan beribu-ribu alasan lainnya.

Tapi saya juga sadar, bahwa tugas saya hanyalah belajar dan melakukan riset. Saya tidak perlu bekerja untuk mencari uang untuk hidup di sini. Semuanya sudah ditanggung negara. Kemarin malam, ketika saya berpikir demikian, teringatlah saya pada seorang gadis yang harus bekerja ekstra keras untuk menunjang uang sekolahnya dan kehidupannya sehari-hari.

Namanya Yui. Saya kenal gadis ini ketika menjadi invited researcher ke Kanazawa University bulan Oktober 2012. Selama kunjungan 10 hari itu, saya bertemu dengan gadis ini 3x. Dia adalah seorang lady bar, demikianlah sebutan Sensei (mantan supervisor ketika S2 dulu) saya terhadap wanita yang menemani tamu di bar. Saya dikenalkan oleh Sensei kepada banyak lady bar, tapi yang paling menjadi perhatian kami adalah gadis ini, karena gadis ini bisa berbahasa Inggris dengan baik.

Oh ya, sebelum saya cerita tentang Yui, mungkin saya harus cerita tentang kebiasaan saya dan Sensei saya ini. Kami sering berbincang-bincang di luar kampus, biasanya ada dua tempat yang selalu kami kunjungi, yaitu restoran untuk makan malam dan night bar. Tentu kami berdua minum alkohol, but don’t worry, I am not a alcoholic. Sensei pun tidak pernah minum hingga hilang kontrol diri. Itulah yang saya suka di Jepang, banyak orang adalah peminum alkohol tapi mereka bertanggung jawab pada diri sendiri dan lingkungan sekitar. Kasarnya, bahkan orang mabuk pun tahu untuk buang sampah pada tempatnya. Lady bar dalam hal ini bukanlah PSK, tugas mereka adalah menyediakan minuman, makanan kecil, set peralatan karoke dan menemani tamu ngobrol.

Banyak hal yang saya dan Sensei perbincangkan di restoran dan di bar, mulai dari kehidupan kampus, riset, filosofi, sejarah dan pengalaman kami masing-masing. Saya punya hubungan yang baik dengan Sensei saya ini, itulah mengapa dia mengundang saya ke Kanazawa University.

So, let’s back to Yui. Selama 3x pertemuan kami, saya jadi makin tahu latar belakang dan bagaimana kehidupannya. Dia adalah seorang mahasiswi S1 di kota Toyama, kota yang lokasinya ada di dekat Kanazawa. Dengan rumahnya yang ada di Kanazawa, dia setiap hari harus bolak-balik menggunakan kereta, katanya sekitar 40 menit perjalanan dari Kanazawa-Toyama. Dia tidak bercerita tentang orang tuanya, yang bisa saya asumsikan ya mungkin dia tinggal sendiri di Kanazawa.

Gadis ini pernah tinggal di Filipina hingga sekolah dasar, oleh karena itu dia juga bisa berbahasa Tagalog. Dia juga sempat selama 6 bulan berada di Australia mengikuti semacam pertukaran pelajar. Oleh karena itulah bahasa Inggrisnya begitu baik. Itu adalah latar belakang gadis ini. Saat itu dia bekerja di dua tempat, tiga hari di bar dan dua hari lainnya di supermarket, bekerja sebagai pembungkus makanan.

Yang membuat saya kagum padanya adalah kehidupannya sebagai mahasiswi. Yui harus bekerja sangat keras untuk membiayai kuliah dan kehidupannya sehari-hari. Ketika Sensei sedang ngobrol dengan lady bar yang lain, saya berkesempatan berbicara dengan dia beberapa menit, dan saya ingat betul bagaimana dia curhat tentang kehidupannya, dia berkata

Chris, I am not so smart like you, I am not confident to apply for scholarship.
(Chris, saya tidak pintar seperti kamu dan saya tidak percaya diri untuk mendaftar untuk beasiswa)
I have to work here to pay my tuition fee and for living here.
(saya harus bekerja di sini dan membayar uang kuliah dan kehidupan sehari-hari)
Chris, you know, drinking alcohol every night here makes me so sick. Every morning I feel so headache
(Chris, kau tahu, minum alkohol setiap malam di sini membuat saya tidak merasa enak, dan setiap pagi kepala saya sakit)
This bar closes at 1 AM and the next morning at 4.30 AM I should prepare to go to Toyama.
(Bar ini tutup jam 1 malam dan besok paginya jam 4.30 harus bersiap ke Toyama)
I go to train station then sometimes I fall a sleep on the train.
(Saya pergi ke stasiun kereta dan kadang saya tertidur di kereta)
After classes at Campus, I have to rush to Kanazawa to get well dress and prepare my make up then work here.
(Setelah kuliah, saya harus cepat-cepat ke Kanazawa untuk berpakaian dan berdandan untuk bekerja di sini)
On Monday dan Wednesday I have part time job at Supermarket.
(Sementara untuk hari Senin dan Rabu, saya juga harus bekerja di Supermarket)

Percakapan itu begitu singkat, tapi kemarin malam, saya teringat akan percakapan itu. Sesaat itu juga saya merasa malu dengan diri sendiri bahwa Yui yang adalah seorang gadis, masih kuliah sarjana bisa melaukan lebih banyak dari yang saya lakukan setiap hari di sini. Bekerja dan belajar di jenjang usia yang begitu muda sedemikian bukanlah hal yang mudah.

Jika ingin bersyukur, lihatlah mereka yang hidupnya jauh lebih sulit dari kita

Itu adalah ungkapan yang pernah saya dengar dan rasanya saya mengalami hal itu. Mengingat kisah Yui membuat saya bersyukur dengan keberadaan saya sekarang.

Well, semoga kisah ini bisa menginspirasi anda yang membacanya sebagaimana saya diingatkan tentang arti kerja keras.

– be blessed