Rendahnya nilai siswa pada pelajaran matematika dan sains menjadi perhatian saya akhir-akhir ini. Beberapa siswa mengeluh pada saya mengenai nilai mereka yang di bawah standar (baca : KKM) ada juga yang bertanya mengenai perlu/tidaknya mengambil bimbingan belajar.
Bukan hanya nilai saja yang rendah, minat belajar mereka pun rendah. Rasanya lebih baik mereka mengaku tidak mengerti akan pelajaran di sekolah ketimbang berkata “masa bodoh” atau bahkan “malas pergi ke sekolah”, karena dua ekspresi terakhir ini menandakan minat belajar mereka sudah hilang.
Hal ini pun menjadi perhatian para guru, mereka mengeluh akan rendahnya nilai para siswa padahal mereka sudah mengajar dengan baik dan sepenuh hati. Para guru “terpaksa” harus mengadakan tes/ujian remedial bagi para siswa yang nilainya ada di bawah standar. Soal remedial dibuat mirip (atau bahkan sama persis) serta memperbolehkan mereka untuk membuka buku (open book exam), dengan tujuan para siswa mampu mengerjakan soal itu dan memperoleh nilai yang memenuhi standar.
Tapi apakah solusi ini merupakan solusi jangka panjang? Saya rasa tidak, mengapa? Karena secara tidak langsung, kita mengajarkan siswa untuk mengejar nilai standar, dan bukan memperoleh pengalaman belajar yang sebetulnya menjadi tujuan pendidikan.
Lalu bagaimana cara untuk mengatasi permasalahan ini ? Masalah yang sudah cukup mengakar di pendididikan kita. Saya rasa, inovasi pendidikan diperlukan di sini. Ada banyak cara yang sedang diusahakan untuk meningkatkan kualitas pelajaran di sekolah/kampus. Salah satunya adalah dengan RBL (Research by Learning). Intinya, pelajaran di kelas dipelajari berbasis project yang menggunakan prinsip-prinsip pelajaran yang bersangkutan.
Berikut TED talk mengenai cara pendidikan tersebut, talk ini berjudul Studio School dan terbukti telah meningkatkan kualitas pendidikan di Inggris.
Pengalaman pertama saya dengan RBL
Saya sendiri “mengalami” sistem pembelajaran RBL ini ketika mengikuti kuliah Sistem Instrumentasi di tingkat II kuliah Fisika, ITB pada tahun 2005. Saat itu adalah dimana pertama kali adanya sistem pembelajaran RBL di program studio Fisika. Saat itu mahasiswa diberi pilihan mengenai kelas yang akan mereka pilih, apakah kelas RBL atau reguler.
Ketika itu, dominan siswa memilih kelas reguler, karena memang kelas RBL harus mengerjakan project akhir berupa sebuah alat berbasis sensor. Alhasil, hanya sekitar 25 mahasiswa (dari 80-an), yang memilih kelas ini. Saya memilih kelas ini karena tampaknya seru mengerjakan project sebuah sistem instrumentasi.
Pengalaman pertama tersebut memberi pengalaman belajar yang tidak biasanya, saya benar-benar “dipaksa” untuk melakukan sesuatu yang biasanya hanya diketahui melalui perkuliahan dengan duduk manis di bangku kuliah. Menyolder, mendesai sistem, melakukan percobaan, mengambil data, semuanya saya dan teman-teman lain melakukan secara langsung.
Saat itu, saya menikmati proses pembelajaran tersebut walau hasil alat yang saya dan teman-teman buat masih belum berjalan dengan lancar.
Menuju ke RBL-RBL selanjutnya
Setelah mata kuliah Sistem Instrumentasi, saya lalu mengalami beberapa mata kuliah lain yang berbasis RBL semasa S1 diantaranya, Fisika Inti dan Mikrokontroler. Saat mata kuliah Mikrokontroler, rasanya saat itulah saya mulai sangat menyukai RBL. Matakuliah ini diajar oleh dosen yang juga mengajar Sistem Instrumentasi (yang juga menjadi dosen pembimbing hingga kini).
Rasanya ini satu-satunya mata kuliah dimana mahasiswa bekerja dan belajar dengan keras hingga lupa waktu pada jam kuliah. Terkadang kami menghabiskan waktu hingga 3-4 jam (jam mata kuliah hanya 1 1/2 jam) mengerjakan tugas kuliah dan project akhir, bahkan terkadang dosen saya sudah tidak berada di lab dan meninggalkan kami yang sedang asik mengutak-atik alat.
Singkat kata, pengalaman kuliah dengan sistem RBL ini sangat berhasil bagi saya. Saya mengalami pengalaman belajar yang lain dari biasanya. Saya jadi lebih mengerti konsep pelajaran karena mau tidak mau saya harus mengerti karena prinsip pelajaran tersebut dipergunakan pada saat mengerjakan project akhir.
Selain itu, saya bisa mengembangkan konsep kuliah menjadi aplikasi nyata ketika mengerjakan project akhir yang berbasis aplikasi. Pada saat kuliah Mikrokontroler, saya membuat sistem lampu lalu lintas lengkap dengan alarm pelanggarannya. Sungguh puas ketika alat tersebut berjalan dengan lancar.
Manfaat RBL bagi siswa SMP dan SMU
Saya merasakan sistem pelajaran berbasis RBL ketika memasuki tingkat II kuliah S1. Saya sempat berpikir seandainya saya mengalami sistem pelajaran ini ketika SMP dan SMU, rasanya saya akan lebih mengerti pelajaran-pelajaran ketika SMP dan SMU.
Para siswa SMP dan SMU akan mengambil manfaat dari sistem belajar ini. Nah, Berdasarkan pengalaman saya, ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh, baik oleh guru maupun siswa:
- Siswa belajar dengan melakukan (learn by doing)
Saya rasa belajar yang paling efektif adalah belajar dengan melakukan. Dengan pelajaran berbasis project, siswa belajar dengan menerapkan konsep-konsep pelajaran dengan melakukan, dengan membuat sesuatu yang akan membuat mereka lebih mengerti pada konsep pelajaran tersebut.
- Siswa akan mengingat lebih lama pada pelajaran berbasis project
Pelajaran yang berbasis project akan lebih diingat oleh siswa. Mengapa? Karena ada “bukti” dari hasil belajar mereka, bukti yang bukan hanya sekedar nilai, tapi suatu benda konkrit yang mereka buat dengn tangan dan keringat mereka sendiri. Mereka juga akan memiliki “cerita” tersendiri tentang pelajaran itu, karena alat yang mereka buat ada di rumah mereka, dipamerkan di lab atau di sekolah mereka.
- Siswa belajar bekerja secara tim
Untuk pelajaran berbasis project, idealnya jumlah siswa dalam satu kelompok tidak lebih dari tiga orang (jika terlalu banyak akan kurang efektif). Para siswa dalam satu kelompok akan belajar bekerja sama, tanggung jawab, mengatur jadwal bersama serta memahami karakter teman satu kelompok.
- Kapasitas guru yang membimbing dan mengarahkan
Pelajaran berbasis project bukanlah membuat sang guru menjadi bermalas-malasan. Memang pelajaran di kelas dengan guru menjelaskan akan berkurang, tapi bukan berarti guru bisa berdiam diri saja. Kapasitas guru berubah dari yang semula aktif menjelaskan menjadi kapasitas membimbing dan menjelaskan. Dengan sistem ini, rasanya pelajaran akan lebih efektif serta energi guru pun akan terjaga.
Minggu lalu, saya berbincang dengan guru fisika ketika SMU. Beliau menerapkan sistem belajar berbasis project ini pada para siswa, katanya ketimbang mengadakan remedial demi remedial, lebih baik menugaskan siswa dengan sistem pelajaran berbasis project. Saat itu beliau dengan bangga memperlihatkan alat-alat hasil karya anak didiknya pada saya. Saya sangat senang dan menyemangati guru saya tersebut untuk mempertahankan sistem belajar ini dan meningkatkan kualitas sistem pelajaran tersebut.
Diperlukan biaya lebih daripada sistem belajar konvensional (but worth it)
Memang untuk menerapkan sistem ini, guru, sekolah dan siswa harus mengeluarkan biaya untuk mengerjakan project. Tapi saya rasa, ketimbang mengarahkan sumber daya “uang” untuk membeli buku tambahan, buku kerja (LKS), akan lebih baik digunakan untuk membuat suatu project.
Dengan manfaat seperti yang saya uraikan di atas, rasanya worth it untuk mengeluarkan biaya, bukan?
– be blessed –